Ketentuan UUD 1945
Dalam pasal 18 B ayat (2) Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945
“Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”.
Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan
nasional yang memperkuat berlakunya Hukum Adat di Indonesia pada saat ini
antara lain:
Ketetapan MPRS nomor II/ MPRS/ 1960 dalam
lampiran A disebutkan bahwa:
- Asas
pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan negara dan berlandaskan
Hukum Adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur.
- Dalam
usaha ke arah homoginitas hukum supaya dapat diperhatikan
kenyataan-kenyataannya yang hidup di Indonesia. Dalam pemyempurnaan UU hukum
perkawinan dan waris, supaya dapat memperhatikan faktor-faktor agama, adat dan
lain-lain.
UU Drt. No. 1 tahun 1951 tentang tindakan
sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara
pengadilan sipil.
Pasal 1 ayat 2 UU Drt. 1 tahun 1951 secara
berangsur-angsurkan ditentukan oleh menteri kehakiman, dihapus:
a. Segala pengadilan
swapraja kecuali peradilan Islam negara Sumatera Timur dahulu, Kalimantan Barat
dan negara Indonesia Timur dahulu.
b. Segala pengadilan adat
kecuali Pengadilan Islam. Pasal 1 ayat 3 UU Drt. No. 1 tahun 1951 hakim desa
tetap dipertahankan.
UU No. 5 tahun 1960 tentang UUPA Pasal 2 ayat
(4) UUPA mengatur tentang pelimpahan wewenang kembali kepada masyrakat hukum
adat untuk melaksanakan hak menguasai atas tanah, sehingga masyrakat Hukum Adat
merupakan aparat pelaksana dari hak menguasai negara atas untuk mengelola tanah
yang ada di wilayahnya.
- Pasal
3 UUPA bahwa pelaksanaan hak ulayat masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut
kenyataannya harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional
dan negara, berdasarkan persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan UU
atau peraturan yang lebih tinggi.
- Pasal
5 UUPA menyebutkan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, udara dan
ruang angkasa adalah Hukum Adat sepanjang (dengan pembatasan) tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional, negara, sosialisme dan undang-undang.
- Pasal
22 terjadinya hak milik berdasarkan ketentuan Hukum Adat akan diatur dengan PP.
UU No. 41 tahun 1999 UU Pokok Kehutanan
Menegaskan bahwa pelaksanaan hak-hak masyarakat
adat, Hukum Adat dan anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan
manfaat dari hutan secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada suatu
peraturan yang demi tercapainya tujuan yang dimaksud oleh UU ini.
UU No. 4 tahun 2004 yang menggantikan UU No. 14
tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
a. Pasal 25 ayat (1) yang
isinya segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar putusan, juga
harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber
hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
b. Pasal 28 ayat (1) yang
isinya tentang hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
UU No. 1 tahun 19754 tentang Perkawinan
- Pasal
35 ayat (1) harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama,
ayat (2) harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh oleh masing-masing pihak sebagai hadiah, warisan, adalah berada di
bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
- Pasal
36 ayat (1) mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak, ayat (2) mengenai harat bawaan masing-masing,
suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya.
- Pasal
37, jika perkawinan putus karena perceraian maka harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.
- Pasal
42, anak sah adalah anak yang lahir di dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah.
UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun dan PP
No. 4 1988 tentang Rumah Susun.
UU No. 16 tahun 1985 mengangkat lembaga Hukum
Adat dengan cara dimasukkan ke dalam UU tsb yaitu, asas pemisahan horizontal.
PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
PP No. 24 tahun 1997 merupakan penyempurnaan PP
No. 10 tahun 1961. PP No. 24 tahun 1997 diundangkan pada juli 1997 dan berlaku
efektif 8 oktober 1997, yang mengangkat dan memperkuat berlakunya Hukum Adat yaitu
lembaga rechtsverwerking (perolehan hak karena menduduki tanah dan
menjadikannya sebagai hak milik dengan syarat yaitu iktikad baik selama 20
tahun berturut-turt tanpa ada gangguan/tuntutan dari pihak lain dan disaksikan
atau diakui oleh masyarakat lembaga aquisitive verjaring kehilangan
hak untuk menuntut hak milik.
Undang-Undang No.39 tahun 1999 tentang HAM
ini, boleh dibilang sebagai operasionalisasi dari TAP MPR XVII/1998 yang
menegaskan bahwa hak-hak masyarakat hukum adat sebagai bagian dari Hak Asazi
Manusia. Pasal 6 UU No.39/1999, menyebutkan:
(1) Dalam rangka penegakkan hak
asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus
diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah.
(2) Indentitas budaya masyarakat
hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan
perkembangan jaman.
Penjelasan pasal 6 ayat (1) UU ini menyatakan
bahwa “hak adat” yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi di dalam
lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka
perlindungan dan penegakakan Hak Asasi Manusia dalam masyarakat yang
bersangkutan dengan memperhatikan hukum dan perundangan-undangan.
Sedangkan penjelasan untuk ayat (2) dinyatakan
bahwa dalam rangka penegakkan hak asasi manusia, identitas budaya nasional
masyarakat hukum adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh
masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak
bertentangan dengan asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan
kesejahteraan rakyat.
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
lebih tertuju pada penegasan hak-hak masyarakat hukum adat untuk mengelola
sistem politik dan pemerintahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum adat
setempat. Pasal 203 ayat (3), umpamanya menyebutkan:
“Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui
keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam perda
dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
Pasal ini sekaligus memberi makna bahwa
masyarakat hukum adat sesuai perkembangannya dapat mengembangkan bentuk
persekutuannya menjadi pemerintahan setingkat desa sebagaimana disebutkan dalam
penjelasan Pasal 202 ayat (1): “Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk
antara lain Nagari di Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di
Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku”.
follow my twitter: @zakyascitter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar