Bab I Pendahuluan
a.
Pengantar
Dalam modul ini anda akan mempelajari macam-macam jenis ancaman
dan gangguan dalam membangun integrasi
nasional. Kajian modul
ini meliputi hubungan antara dasar negara dan konstitusi,
substansi konstitusi negara, kedudukan
Pembukaan UUD 1945, dan sikap positif terhadap konstitusi
negara.
Modul ini berkaitan dengan modul tentang prinsip-prinsip
demokrasi dan sistem hukum yang berlaku.
Standar kompetensi yang akan dicapai melalui modul ini adalah
menganalisis hubungan antara dasar negara
dan konstitusi. Sedangkan kompetensi dasar yang harus dikuasai
antara lain: mendeskripsikan hubungan
antara dasar negara dan konstitusi; menganalisis substansi
konsitusi bagi suatu negara; menganalisis
kedudukan Pembukaan UUD 1945 dalam Negara Kesatuan Rupublik
Indonesia (NKRI).
b. Petunjuk Belajar
Sebelum Anda mempelajari modul ini lebih lanjut, maka perhatikan
petunjuk belajar berikut ini.
1. Baca tujuan pembelajaran sebelum anda mendalami informasi dan
mengejakan tugas.
2. Bacalah uraian informasi materi (hal 3) secara berulang-ulang
sebelum anda mengerjakan tugas.
3. Bacalah literatur lain untuk memperkuat pemahaman anda.
4. Kerjakan setiap langkah sesuai dengan tugas yang diberikan.
5. Kumpulkan tugas sesuai dengan petunjuk jadwal yang telah
disepakati.
6. Konsultasikan dan diskusikan kepada Guru jika menemui
kesulitan atau keraguan dalam
mengerjakan tugas.
c. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini diharapkan anda mampu melakukan
hal-hal berikut ini.
1. Mendeskripsikan macam-macam .
2. Menganalisis substansi konsitusi bagi suatu negara.
3. Menganalisis kedudukan Pembukaan UUD 1945 dalam Negara
Kesatuan Rupublik Indonesia (NKRI).
Masalah integrasi nasional di Indonesia sangat
kompleks dan multi dimensional. Untuk mewujudkannya diperlukan keadilan,
kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku,
agama, bahasa dan sebagainya. Sebenarnya upaya membangun keadilan, kesatuan dan
persatuan bangsa merupakan bagian dari upaya membangun dan membina stabilitas
politik disamping upaya lain seperti banyaknya keterlibatan pemerintah dalam
menentukan komposisi dan mekanisme parlemen.
Dengan demikian upaya integrasi nasional dengan
strategi yang mantap perlu terus dilakukan agar terwujud integrasi bangsa
Indonesia yang diinginkan. Upaya pembangunan dan pembinaan integrasi nasional
ini perlu karena pada hakekatnya integrasi nasional tidak lain menunjukkan
tingkat kuatnya persatuan dan kesatuan bangsa yang diinginkan. Pada akhirnya
persatuan dan kesatuan bangsa inilah yang dapat lebih menjamin terwujudnya
negara yang makmur, aman dan tentram. Jika melihat konflik yang terjadi di
Aceh, Ambon, Kalimantan Barat dan Papua merupakan cermin dan belum terwujudnya
Integrasi Nasional yang diharapkan. Sedangkan kaitannya dengan Identitas
Nasional adalah bahwa adanya integrasi nasional dapat menguatkan akar dari
Identitas Nasional yang sedang dibangun.
Proses integrasi nasional Indonesia sesungguhnya
masih terus berlangsung. Proses integrasi nasional ini masih dalam proses
penyelesaian sehingga bentuk bakunya masihlah dicari. Dalam kasus Indonesia pula,
terdapat sejumlah penjelasan guna menggambarkan metode terjadinya integrasi
nasional. Penjelasan-penjelasan ini memiliki aneka perbedaan titik tekan.
Seluruh pendekatan yang tersedia kemudian dapat dipertimbangkan signifikansinya
sebagai metode integrasi nasional Indonesia.
Neopatrimonialisme
Pertama adalah penjelasan David Brown tentang metode
integrasi Indonesia yang ditentukan elit.[1] Brown menggunakan istilah Neo
Patrimonialisme dalam kasus integrasi nasional Indonesia. Untuk memahami
Neopatrimonialisme, paling jelas dikontraskan dengan apa yang Max Weber maksud
dengan Patrimonialisme, yang menurutnya:
[...] the object of obedience is the personal
authority of the individual which he enjoys by virtue of his traditional
status. The organized group exercising authority is, in the simplest case,
primarily based on relations of personal loyalty, cultivated through a common
process of education. The person exercising authority is no a ‘superior’, but a
personal ‘chief’. His administrative staff does no consist primarily of
officials, but of personal retainers [...] What determines the relations of the
administrative staff to the chief is not the impersonal obligations of office,
but personal loyalty to the chief.[2]
Dalam patrimonialisme, sistem pemerintahan terbangun
lewat ikatan antara pimpinan pemerintah tertentu (ketua adat, raja, sultan)
atau orang berpengaruh di mana ia diangkat ke dalam posisi tertentu di dalam
kekuasaan pusat. Orang-orang ini punya pengikut yang mengikutinya berdasarkan
loyalitas personal. Jaringan-jaringan patron-klien ini kemudian mengembangkan
loyalitas masing-masing yang awalnya bersifat kedaerahan menjadi bersifat
nasional kendati hanya elit (patron) yang memahami perubahan sifat tersebut.
Negara patrimonial sebab itu merupakan puncak dari suatu masyarakat yang dikarakteristikkan oleh hubungan patron-klien tradisional. Negara patrimonial bergantung pada seberapa besar loyalitas rakyat pada pemimpin lokalnya, dan loyalitas para pemimpin lokal kepada pemerintah pusat. Ia mengandalkan stabilitas sistem politik tradisional kedaerahan yang berkembang. Misalnya, ketaatan rakyat Yogyakarta kepada Sultan Hamengkubuwono X dan ketaatan Sultan Hamengkubowono kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesia. Ketaatan Sultan kepada pimpinan nasional agak sulit disebut ketaatan dalam bentuk patrimonial.
Patrimonialisme relatif mudah andaikata struktur
asli masyarakat tiap-tiap suku bangsa masih beroperasi. Patrimonialisme
mengandalkan kuatnya adat dan kebudayaan dalam menjamin integrasi sosial. Atau,
ketika ketokohan personal berdasarkan wilayah geografis, suku, ataupun agama
masih kuat.
Lalu, apa yang membedakan antara patrimonialisme
dengan neopatrimonialisme? Perbedaan utamanya terletak pada perubahan hubungan
antara pengikut dan pemimpin. Dalam patrimonialisme, elit patrimonial
menyatakan dirinya sebagai kelas istimewa yang menempatkan dirinya sebagai
monopol sumber daya sekaligus distributor dominan dalam hal kuasa dan
kesejahteraan. Ini dapat terjadi andaikan pemimpin patrimonial mampu menjamin
keamanan dan perlindungan yang ia berikan kepada para pengikut. Efektivitas
elit patrimonial dalam konteks struktur masyarakat tradisional cukup tinggi dan
akan merendah tatkala struktur-struktur tersebut mengalami perubahan.
Dalam neopatrimonialisme, kepadatan moral (moral
density) perubahan ikatan tradisional, meningkatnya mobilisasi penduduk
(vertikal, horisontal), dan tersebarnya harapan akan demokrasi, membuat para
elit patrimonial makin sulit memelihara ikatan patron-klien terhadap massanya.
Loyalitas dari para pengikut kini berubah dari sekadar perlindungan dan
keamanan menjadi bersifat material (kuasa, uang, kemakmuran). Birokrasi yang
legal-rasional mengentarai hubungan elit-massa pada masyarakat neopatrimonial.
Neopatrimonial ditandai hadirnya lembaga-lembaga politik modern yang
menghendaki impersonalitas. Namun, di Indonesia patrimonialisme sesungguhnya
masih berkembang di dalam organ-organ negara yang modern. Elit neopatrimonial
kebingungan dalam bertindak: Di satu sisi mereka harus bergerak dalam lingkup
organisasi yang legal-rasional, punya serangkaian aturan jelas yang harus
ditaati, serta harus bertanggung jawab secara profesional sesuai gambaran
wewenang, tetapi di sisi lain mereka – secara subyektif – menganggap organisasi
tempatnya bekerja sebagai milik pribadi dan bisa mereka perlakukan sesuai
kepentingan pribadinya pula. Terjadi konflik kepentingan dalam diri elit-elit
neopatrimonial Indonesia dan ini hampir merata terjadi dari pemerintah pusat
hingga lokal.
Dalam konteks neopatrimonial, pemimpin massa yang
tadinya (secara tradisional) memiliki pengikut loyal, kini mulai bergeser.
Mereka tidak stabil dan konstan lagi dalam menggamit massa-nya sendiri dan
kemudian, untuk menyelamatkan posisi, turun tahta menjadi broker politik dari
para elit politik puncak (tingkat nasional). Pemimpin yang awalnya menguasai
monopoli loyalitas massa suatu daerah kini terpecah. Dalam suatu daerah muncul
communal leader yang berbeda dengan pemimpin tradisional. Pemimpin-pemimpin
baru ini mengklaim punya massa tertentu dan bersedia membela mereka baik secara
material maupun politik: Reward yang diberikan oleh elit neopatrimonial bukan
perlindungan melainkan resouces material yang sumbernya – sayangnya – kini
bukan dari pemilikan pribadi melainkan milik negara (publik). Akibatnya, muncul
gejala l’etat c’est moi (negara adalah saya): Birokrasi-birokrasi negara yang
dikelola elit politik dianggap milik pribadi dan seperti inilah watak umum dari
elit neopatrimonial di Indonesia.
Ketaatan massa kepada elit neopatrimonial ada sejauh
para elit mampu memberi kompensasi material yang mencukupi bagi mereka.
Ketaatan massa kepada elit tidak lagi bersifat personal melainkan impersonal.
Impersonalitas ini membuat massa mulai tidak peduli kepada personal mana mereka
taat melainkan kepada efek-efek impersonal yang mampu mereka berikan seperti
kesejahteraan, keamanan, atau keadilan. Integrasi nasional yang dilandaskan
pada neo-patrimonialisme ini rentan terhadap konflik. Elit neo-patrimonial
dapat dengan mudah memanfaatkan massa-nya demi kepentingannya sendiri.
Integrasi nasional Indonesia dari masa kemerdekaan
hingga pasca kemerdekaan (bahkan dapat disebut hingga masa kini) memperlihatkan
model integrasi Patrimonial dan NeoPatrimonial ini. Dalam masyarakat kolektif
Indonesia, sulit dipungkiri peran elit politik dalam mengintegrasikan massa
mereka dan, buruknya, dalam memecah bangsa ini. Kekecewaan elit
politik-lah yang banyak memunculkan peristiwa-peristiwa pemberontakan tatkala
Indonesia baru berdiri. Ketika elit patrimonial mulai memudar, kembali elit
neopatrimonial (biasanya pengusaha atau tokoh-tokoh masyarakat) mengambil
peran. Integrasi Indonesia tidak lebih sebagai integrasi dari para elit
neopatrimonial ini.
Pola integrasi nasional bercorak neopatrimonial
tentu saja kurang sehat karena mendorong sentimen antarkelompok sesuai garis
yang diperkenankan oleh tiap-tiap elit. Indonesia akan rentan perpecahan jika
tetap mengandalkan integrasinya pada ketokohan seorang elit neopatrimonial.
Namun, terdapat suatu harapan bahwa elit neopatrimonial cenderung berangsur
kehilangan klien. Semakin banyak bermunculan elit-elit neopatrimonial baru
mendorong mereka saling berkompetisi satu sama lain dan klien akan menilai
bahwa kekuatan dan sumber daya seorang elit tidaklah tetap. Hal ini akan
mendorong munculnya sikap kritis dari para klien untuk tidak lagi fanatik dalam
mendukung seorang elit. Klien dapat secara mudah melakukan swing-support dan
kemudian, hanya elit-elit yang mampu memuaskan kebutuhan klien sajalah yang
akan beroleh dukungan secara relatif tetap.
Teori Dimensi
Christine Drake mengutarakan tesis tentang empat
faktor yang mendorong integrasi nasional Indonesia.[3]Pertama, dimensi
historis-politis yang menekankan kepada persamaan nasib selaku rakyat yang
terjajah Hindia-Belanda, yang membangun kesadaran bersama mencapai satu tujuan.
Dimensi ini kentara tatkala para pendiri negara Indonesia melakukan kegiatan
kampanye dan propaganda kesatuan nasional. Secara garis besar teori ini sangat
mirip dengan teori Ernst Renan tentang terciptanya sebuah bangsa.
Dimensi ini telah secara luas dijabarkan dalam
bab-bab terdahulu. Dimensi historis-politis interaksi antar elemen komunitas
politik nusantara lalu mendorong sejumlah elit untuk membentuk nasion
Indonesia. Perlu diakui bahwa terbentuknya Indonesia adalah konsensus elit,
bukan sebuah referendum. Namun, elit-elit tersebut kemudian mendiseminasi
kesepakatan mereka kepada masing-masing klien mereka (massa masing-masing). Hal
ini lumrah saja karena kecenderungan integrasi elit ini tidak hanya terjadi di
Indonesia melainkan di banyak negara lain semisal Malaysia ataupun Irak.
Sehubungan dengan dimensi historis-politik, integrasi
yang muncul pra kemerdekaan 1945 adalah bukan subordinasi melainkan kesetaraan.
Masing-masing komunitas politik (daerah-daerah) memiliki derajat otonomi
(khususnya dalam hal budaya dan ekonomi) yang tinggi. Ketika negara Indonesia
coba melakukan subordinasi atas kedua unsur tersebut, isu separatisme kemudian
muncul. Kini, Indonesia memiliki perangkat Undang-undang di bawah Konstitusi
yang mengatur secara jelas kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Jika dilihat secara mendasar, maka pembagian kewenangan tersebut mirip dengan
situasi pra kolonial di mana otonomi komunitas-komunitas politik, khususnya di
bidang ekonomi, sangatlah tinggi.
Kedua, dimensi sosiokultural yang termasuk
atribut-atribut budaya yang sama, bahasa yang sama, agama yang sama, dan
kemudian membimbing pada ikatan bersama untuk bersatu di dalam Indonesia.
Bahasa Indonesia yang kini menjadi bahasa resmi Indonesia tidak muncul
sekonyong-konyong. Bahasa ini berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Melayu adalah
lingua franca yang menjadi bahasa pengantar hubungan penduduk antar pulau-pulau
nusantara. Bahasa Melayu sendiri, seperti telah dikemukakan dalam bab-bab
sebelumnya, menyerap sejumlah unsur budaya yang pernah berkembang di Indonesia
yaitu kebudayaan India dan Islam. Dengan demikian, Bahasa Indonesia adalah
sebuah bahasa yang penggunaannya bukan up to bottom melainkan bottom to up.
Bahasa Indonesia disusun secara induktif, bukan deduktif. Sehingga dapat
dinyatakan Bahasa Indonesia adalah milik semua orang Indonesia, bukan hanya
milik orang Sumatera, Papua, atau Jawa saja. Hal baiknya dalam konteks
integrasi nasional, Indonesia belum pernah mengalami persengketaan soal bahasa
nasional ini seperti yang menimpa Malaysia, Pakistan, ataupun Filipina.
Mengenai masalah agama, Islam adalah salah satu
elemen kunci perekat. Islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia dan Islam
hingga kini telah menjalankan perannya sebagai basis kohesi bangsa. Hal ini
harus disebutkan karena masalah agama kerap menjadi basis perpecahan sebuah
bangsa seperti terjadi di India (sebelum pecah menjadi India, Pakistan, dan
Bangladesh), Inggris dan Irlandia (protestan dan katolik), ataupun Libanon
(perpecahan antarsekte dan antaragama). Islam di dalam ajarannya tidak lantas
menegasikan begitu saja agama dan kepercayaan yang berkembang di luarnya lewat
pernyataan untukmu agamamu dan untukku agamaku. Hal ini merupakan pernyataan
tegas doktrin toleransi antarumat beragama dan salah satu saham terbesar
keutuhan Indonesia yang agama dan kepercayaan penduduknya sesungguhnya selaras
dengan pernyataan Islam ini.
Integrasi nasional tidak akan bertahan jika suatu
budaya, yang karena punya pendukung terbesar, lantas menegasikan yang kecil.
Hal ini sangat krusial bagi Indonesia yang punya ratusan bentuk budaya lokal
spesifik. Masing-masing budaya cenderung mempertahankan eksistensinya dan
menyikapi upaya penyeragaman budaya sebagai bentuk agresi. Indonesia tidak akan
bertahan lama jika bentuk-bentuk agresi budaya dibiarkan terjadi. Dalam konteks
ini pula, paradigma masyarakat majemuk perlu diganti dengan paradigma
multikultural. Paradigma masyarakat majemuk mengandung bias kolonialisme Barat
yang awalnya dimaksudkan demi memecah masyarakat jajahan berdasarkan garis
budaya. Paradigma masyarakat majemuk perlu diganti dengan paradigma
multikultural yang di Indonesia sesungguhnya telah diwakili semboyan bhinneka
tunggal ika.
Ketiga, dimensi interaktif, yaitu tingkat kontak
yang terbangun antara orang-orang yang diam di wilayah yang kini menjadi
Indonesia, di mana mereka satu sama lain saling berkomunikasi lewat
perdagangan, transportasi, telepon, migrasi, dan televisi. Seperti juga telah
dipaparkan dalam bab-bab terdahulu, pola perpindahan penduduk di Indonesia
sudah sedemikian canggih dalam arti hampir di setiap wilayah Indonesia tidak
lagi terdapat monoetnis. Hal ini mendorong interaksi antaretnis yang lebih
intens dan diharapkan akan mendorong terciptanya kondisi saling paham
antaretnis. Tentu saja, masing-masing etnis akan tetap semaksimal mungkin
memelihara adat dan kebiasaan masing-masing. Namun, jika hal tersebut ditunjang
oleh perkembangan serupa di sisi paradigma multikultural maka pemeliharan
identitas etnis di wilayah domisili etnis lain tidak akan menjadi persoalan
sensitif. Justru, masing-masing etnis memiliki kesempatan untuk mempelajari
cara-cara hidup yang lebih baik dari etnis satu dan lainnya untuk perkembangan
individualitas mereka masing-masing.
Keempat, dimensi ekonomi, yaitu kesalingtergantungan
ekonomi antar region-region yang ada di Indonesia. Dimensi keempat ini telah
pula dilalui bangsa Indonesia ketika zaman perdagangan rempah-rempah di
kepulauan nusantara.[4] Setelah Indonesia berdiri, kesalingtergantungan
tersebut justru memperoleh kesempatan untuk diregulasi kembali secara lebih
baik. Pemerintah pusat dapat bertindak selaku regulator dan distributor sumber
daya langka dan mengalihkannya dari satu wilayah yang berlebih kepada wilayah
lain yang kekurangan. Derajat keuntungan Indonesia sebagai sebuah wilayah
kesatuan lebih tinggi ketimbang terpecah-pecah ke dalam negara-negara kecil
yang berdiri sendiri. Biaya ekonomi perpindahan sumber daya dari wilayah satu
ke wilayah lain akan selalu lebih rendah jika wilayah-wilayah tersebut masih
bergabung ke dalam satu negara ketimbang berdiri sendiri-sendiri.
Teori Proses Industri
Anthony Harold Birch coba mencari jawaban bagaimana
kelompok etnik dan budaya yang saling berbeda mengikat diri ke dalam sebuah
masyarakat nasional dan mendirikan negara nasional.[5] Sebagai proses,
integrasi nasional merupakan produk dari kebijakan pemerintah (atau elit) yang
disengaja.
Teori proses industri memandang integrasi nasional
awalnya tidak direncanakan lewat mobilisasi sosial. Integrasi tidak sengaja ini
intinya merupakan hasil dari bagaimana industrialisasi mengundang pekerja
meninggalkan desa asal untuk cari kerja di area industri baru. Perpindahan ini
menggerogoti komunitas-komunitas sosial asli di area pedesaan dan memobilisasi
pekerja untuk terserap di masyarakat nasional yang lebih besar. Hubungan
kedaerahan menjadi lemah, bahasa dan dialek lokal makin samar, untuk kemudian
digantikan bahasa nasional. Budaya lokal dan kebiasaan turun-temurun kehilangan
pendukungnya.
Alat transportasi, juga menyumbang point dalam
integrasi nasional. Pembukaan jalan membuat wilayah-wilayah dan penduduk
terlebur, berinteraksi, saling pengaruh. Terlebih, media massa kemudian muncul
memberikan informasi-informasi baru harian kepada pemirsa yang bisa dicapainya.
Anggota-anggota masyarakat yang tadinya berasal dari budaya atau kultur spesifik
secara gradual masuk ke dalam terminologi masyarakat yang lebih luas.
Integrasi Nasional Indonesia
Berdasarkan ketiga teori mengenai integrasi
nasional, maka empat argumentasi dapat diajukan dalam menjelaskan proses
integrasi nasional Indonesia. Pertama, dalam terminologi keniscayaan sejarah.
Dalam pandangan Hegel, masa depan umat manusia terletak dalam organisasi yang
disebut negara. Negara merupakan bentuk tertinggi organisasi sosial yang ada di
tengah masyarakat. Negara mempersatukan elemen-elemen yang berbeda di level
masyarakat ke dalam elemen bersama dan sifatnya lebih tinggi. Namun,
terminologi Hegel mengenai negara sebagai bentuk tertinggi dalam proses sejarah
rentan diselewengkan. Pemikiran Hegel kerap menjadi alasan pembenar bagi
absolutisme negara.
Di dalam Indonesia, konsep Hegel dapat dimanfaatkan
dalam konteks negara sebagai regulator tertinggi. Negara Indonesia memainkan
ritme hubungan antardaerah sehingga tercipta pola hubungan antardaerah yang
saling melengkapi. Jika Indonesia pecah maka bagaimana kondisi wilayah-wilayah
yang miskin sumber daya alam? Berdasarkan sejarah pula, komunitas-komunitas
politik telah terhubung lewat mekanisme perdagangan nusantara.
Komunitas-komunitas politik di Indonesia dahulu tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhan
riil masyarakatnya. Polanya mirip dengan hubungan antarnegara saat ini. Kini,
dengan bersatunya komunitas-komunitas politik ke dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia maka sumber daya ekonomi (seharusnya) dapat diperdagangkan lebih
murah. Paket-paket pembangkit listrik di setiap region dapat dikembangkan
dengan sumber-sumber energi yang diperoleh secara komplementatif antar region.
Seluruhnya tidak mesti melalui tarif bea impor ataupun permainan harga lazimnya
perdagangan antarnegara.
Region-region (daerah) dalam konsep Negara Kesatuan Republik
Indonesia seharusnya makmur secara ekonomi. Kemakmuran inilah sumber
legitimasi sahih dan sulit ditentang. Papua seharusnya makmur, Nusa Tenggara
Timur seharusnya makmur, seperti halnya Kepulauan Riau dan Bali yang makmur.
Pemerintah adalah the solely distributor karena dengan otoritas yang
dimilikinya mampu melalukan ekstraksi sumber daya ekonomi dari satu wilayah ke
wilayah lain atau dari satu penduduk ke penduduk lain. Apakah ada legitimasi
yang lebih tinggi dari suatu proses integrasi selain kemampuan negara
memakmurkan seluruh wilayah dan penduduknya? Negara sebagai bentuk tertinggi
proses sejarah Hegel hanya dapat diterima jika organisasi ini mampu menjamin
kemakmuran bagi wilayahnya secara adil dan berimbang. Tanpa catatan ekonomi
ini, eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia akan selalu dapat
dipertanyakan.
Kedua, pandangan integrasi nasional sebagai bentuk
asimilasi sosial. Integrasi nasional adalah terasimilasinya budaya-budaya yang
lebih minor kepada budaya yang lebih mayor. Misalnya, etnis Cina di Indonesia
mau tidak mau harus mengasimilasi seluruh atau sebagian dari kultur yang
berkembang di Indonesia kebanyakan agar dapat terintegrasi baik di tengah
Negara Indonesia. Demikian pula etnis-etnis Arab, agar dapat diterima di
Indonesia harus mengasimilasi budaya umum yang berkembang di masyarakat
Indonesia. Disintegrasi nasional muncul akibat asimilasi gagal dilakukan.
Namun, asimilasi bukanlah satu-satunya pola hubungan mayoritas-minoritas
budaya.
Seperti telah dikemukakan di bagian-bagian awal
buku, konsep-konsep seperti ras dan etnis sesungguhnya delutif. Konsep ini
sesungguhnya menyesatkan karena tidak menunjukkan suatu hal yang definitif dan
pasti. Ironisnya, konsep ras dan etnis kerap digunakan secara serampangan hanya
demi menciptakan kambing-hitam terpuruknya sebuah negara. Dengan demikian,
asimilasi sosial merupakan metode lain dari integrasi nasional yang cukup
penting, demikian pula multikulturalisme. Hal yang penting dicatat adalah jika
memang asimilasi yang dikehendaki ia bukan dipaksakan semisal etnis Cina yang
harus mengganti namanya menjadi Indonesia atau orang keturunan Arab yang harus
memakai batik. Proses penggantian harus dilandasi kesadaran sosial mereka
sendiri: Kehendak baik untuk sedikit demi sedikit menghapus sekat sosial yang
tidak penting demi integrasi nasional yang lebih besar. Hubungan harmonis bisa
dibangun lewat multikulturalisme: Masing-masing penganut kebudayaan
dipersilakan mempraktekkan budaya khas masing-masing dengan tetap bersetia
dalam komunitas politik Indonesia.
Posisi etnis Cina dan India (berikut keturunannya)
cukup signifikan dalam memicu perkembangan ekonomi Indonesia. Hal ini sulit
dipungkiri berdasarkan fakta bahwa jajaran atas orang terkaya atau perusahaan
terkaya Indonesia diantara berada di dalam genggaman mereka. Namun, hendaknya
tidak pula dilupakan kehadiran perusahaan mereka telah mampu merekrut sekian
banyak tenaga kerja usia produktif Indonesia. Ketika ekonomi Indonesia terpuruk
atau kecemburuan sosial meninggi, ironisnya, mereka justru kambing hitam nomor
satu. Proses integrasi sosial menghendaki hadirnya negara secara netral,
profesional, dan jujur. Negara (khususnya pemerintah) harus mengakui bahwa
penghasilan mereka dari pajak perusahaan sebagian diperoleh dari
perusahaan-perusahaan warga negara keturunan Cina dan India ini. Pertanyaannya
bukanlah apakah para pengusaha tersebut curang melainkan apakah pemerintah
telah jujur memungut pajak dari mereka dan mengalokasikannya demi pembangunan
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pemerintah pun harus mengakui peran mereka,
mengangkat harkat mereka sebagai warganegara yang setara tanpa embel-embel
etnis dan ras yang sesungguhnya delutif sehingga mempersulit lagi integrasi
mereka ke dalam persatuan nasional Indonesia.
Ketiga, integrasi nasional muncul akibat pemerintah
dibentuk berdasarkan atas perasaan kesatuan nasional. Integrasi nasional tidak
akan tercipta jika perasaan tersebut belumlah terbangun. Untuk itu, masalah
bahasa persatuan, ideologi nasional, merupakan komponen penting di dalam
integrasi nasional. Pemerintah memiliki tugas menjamin hal-hal tersebut telah
tersosialisasi, baik secara teori maupun praktik.
Tidak boleh diabaikan begitu saja adalah masalah
simbolik dalam terminologi kesatuan nasional. Namun tetap saja tanpa
terciptanya (atau kesungguhan untuk menciptakan) kemakmuran dari pemerintah
simbolisme kesatuan nasional, ideologi nasional hanya akan menjadi pepesan
kosong Pancasila adalah suatu konsep yang bagus dalam rangka menciptakan rasa
persatuan dan hubungan antar elemen pembentuk bangsa yang berbeda. Namun,
Pancasila hanyalah pepesan kosong tatkala pemerintah dan masyarakat sipil tidak
mampu mewujudkannya sebagai praksis politik. Pembangunan ekonomi dan distribusi
kesejahteraan adalah salah satu nilai Pancasila yang cukup krusial untuk
digarap dan selama ini terbukti bukan menjadi fokus utama setiap pemerintahan
Indonesia. Simbolisme jargon hanya bisa bertahan jika kenyataan telah
menunjukkan hal yang serupa dengan jargon tersebut.
Keempat, integrasi nasional berhubungan dengan
masalah representasi politik. Negara yang terbangun di sekujur garis primordial
berbeda memunculkan sensitivitas tinggi warganegara atas aspek ini. Agama,
etnis, region, merupakan unsur primordial yang perlu diperhatikan representasi
politiknya. Pimpinan puncak nasional memerlukan konsensus politik yang membuat
representasi elemen primordial yang berlainan tersebut menggapai representasi.
Partai-partai politik utamanya mengambil peran dalam integrasi nasional yang
berhubungan dengan masalah ini. Indonesia kini telah melangkah di jalur yang
benar dengan memindahkan bobot otoritas politik ke tingkat daerah. Harapannya
adalah, pemerintah-pemerintah daerah dapat secara langsung meningkatkan
kemakmuran di wilayahnya. Namun, sebagai regulator utama, pemerintah pusat
harus mampu berposisi sebagai strong state bukan weak state. Dalam representasi
politik, Indonesia sudah sangat liberal bahkan kini kesulitan dalam hubungan
antara pusat dengan daerahnya. Pusat seolah mengalami kelumpuhan tatkala
mempenetrasi regulasi kepada daerah. Konflik agama dan etnis justru meninggi
setelah demokrasi liberal berkembang kembali di Indonesia pasca 1998. Namun,
jika ditelusuri anatomi konflik etnis dan agama di Indonesia, maka jawaban
umum dari para peneliti adalah pada determinisme ekonomi yang tidak
mengindahkan dinamika sosial, budaya, dan agama di tengah masyarakat.
---------------------
[1] David Brown, The State and Ethnic Politics
in SouthEast Asia (CRC Press, 2004) p.78.
[2] Ibid., h.79.
[3] Christine Drake seperti termuat dalam Danilyn
Rutherford, Raiding the Land of the Foreigners: The Limits of the Nation
on An Indonesian Frontier (Princeton University Press, 2002) p.4-5.
[4] Telah diuraikan dalam bagian genealogi
masyarakat Indonesia.
[5] Anthony Harold Birch, Nationalism and
National Integration (London: Routledge, 1989) p.36-42.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar