TEORI FILSAFAT MORAL DALAM CONTOH KASUS PERILAKU INDIVIDU
Berbagai sikap manusia tertera dalam nilai-nilai etika, baik yang
berasal dari nilai religius ataupun nilai yang bersifat antropopisme( non
religius). Manusia dalam bertindak juga memerlukan berbagai konsep-konsep yang
menurut kita dan masyarakat diterima sebagai nilai yang baik. Nilai-nilai ini
dapat juga bersumber dari aplikasi filsafat pada masa dahulu( filsafat kuno).
Dalam filsafat modern nilai ini terbagi dalam divisi-divisi yang bersumber dari
dua hal di atas- yang dianggap baik tersebut-yang kita dapat menerimanya
sebagai suatu yang logis dan dapat dikritisi sebagai sebuah modal awal sebuah
nilai dalam menetukan apakah nilai itu bermanfaat atau tidaknya terhadap
subjeknya yaitu manusia. Alam turut menyumbangkan peranan penting bagi manusia
dalam memperoleh nilai yang ada di bumi ini. Bermula dari alam manusia belajar
untuk menentukan what, how, why, where, and who yang ingin diungkap.
Ketidaktahuan pada awalnya menurut filsafat kuno diakomodir dengan
memperhatikan dan mempelajari alam secara arif dan bijaksana. Dalam esai ini
akan dibahas berbagai teori filsafat moral yang membahas bebrapa pemikiran
tentang moral dan contoh aplikasi yang ada di masyarakat pada saat ini(
prospektif) dan yang ada pada masa sebelum masa sekarang (retrospektif).
1. HEDONISME
Pertama, hedonism. Hedone dalam bahasa Yunani yang berarti
kesenangan, mempunyai makna secara etimologi bahwa manusia dalam kehidupannya
mempunyai tujuan akhir yaitu kesenangan dan menghindari kesedihan, kesakitan,
dan hal yang membuatnya menjadi tidak bahagia. Istilah dan teori tentng
hedonism dikemukakan oleh Aristippos dari Kyrene ( sekitar 433-355 SM). Namun,
kesenangan ini menurut Aritppos sendiri hanya terbatas pada keadaan dan
kebutuhan ragawi saja. Tidak merepresentasikan keadaan psikologis sesungguhnya.
Pengaplikasiaannya sangat banyak pada masa saat ini. Baik itu yang
bersifat frontal ataupun makna yang baik dalam kehidupan manusia. Contoh kasus
pertama yang mau penulis angkat adalah mengenai hedonism yang bersifat frontal
yaitu salah satunya tentang “anggota DPR oh anggota DPR uenaknya hidup kalian.”
Masalah pencarian kesenangan sendiri memang sudah ada sejak manusia pada masa
kecil. Ketika seorang manusia telah mendapatkan sesuatu yang menurut ia
menyenangkan dan hal yang tidak menyenangkan akan ia tinggalkan. Dalam kasus
ini, mengapa penulis ingin mengangkat the way of life dari para anggota DPR
yang cukup universal dan familiar bagi masyarakat Indonesia dengan segala
luxury-baca sebagai tersier-red. Kehidupan yang diwarnai dengan berbagai
fasilitas yang sangat mewah-bandingkan dengan angka pendapatan rata-rata rakyat
Indonesia-tidak sebanding dengan kinerja yang mempunyai skor yang mengecewakan
dan tingkat penilaian kekecawaan dari masyarakat. Hasil ini menunjukkan bahwa
kesenangan yang bersifat ragawi itu dapat berdampak terhadap kesenangan orang
lain. Tingkat kesenangan yang diperoleh para anggota DPR menganggu kesenangan
rakyat Indonesia secara keseluruhan. Mengapa penulis bisa berpendapat seperti
ini dan men-jugdg¬e¬ mereka? Anggota DPR dalam hal ini merupakan representasi
dari suara rakyat, digaji, dibiayai oleh rakyat, cuma mementingkan keegoisan mereka
sendiri tanpa melihat sisi bawah dari masyarakat. Sebagai tambahan, menurut
survei yang diliris oleh Indonesian Corruption Watch, lembaga DPR termasuk
dalam lembaga yang berkinerja buruk dan termasuk dalam lembaga yang banyak
menyelewengkan uang rakyat- bahwa para anggota DPR memegang posisi yang sangat
vital sebagai lembaga yang di dalamnya masuk sebagai posisi teratas dalam hal
korupsi. Menurut Aristippos, kesenangan itu sendiri memang harus ada sebuah
pembatas dan nilai-nilai etika yang dimasukkan ke dalamnya agar tidak terjadi
hal seperti pemaparan penulis di atas. Dalam hal ini perlu ditekankan secara
radikal dan progresif terhadap pencapaian kesenangan yang lebih bermoral- baca
lebih tidak menyakiti kesenangan orang lain( rakyat)- dan lebih bermartabat.
Ini termasuk kesenangan yang sia-sia karena hanya mementingkan pencapaian
kesenangan atas kekayaan yang diperoleh atas dasar melanggar hak-hak orang
lain-rakyat- secara tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini ataraxia biasanya
tidak terjadi. Ataraxia adalah sebuah bentuk respon tubuh ditinjau dari sisi
psikologis sebagai sesuatu yang menenangkan jiwa-dalam artian yang bijaksana,
baik, dan bermartabat- dan mendapatkan sebuah perasaan yang sangat bahagia
dalam kehidupan tanpa merugikan kepentingan orang lain.
Kedua, eudonism, yaitu sesuatu hal yang ingin dicapai di dunia ini
adalah kebahagian-bukan kesenangan- yang menjadi tujuan akhir dari
kehidupannya. Kebahagiaan dalam artian yang partikular bukan berarti hal yang
membahagiakan dalam bentuk materi-kekayaan- semata, namun harus disertai dengan
penyertaan akal dan rasio sebagai bentuk rasionalitas dalam mencapai tujuan
akhir yaitu kebahagiaan tadi. Aristoteles menganggap apabila seorang individu
ingin mencapai kebahagiaan yang hakiki tersebut mempunyai banyak aspek
pertimbangan dalam pencapaiaan. Dalam hal ini ditekankan bagaimana bahagia
sebagai manusia yang dapat menjalankan perannya sesuai dengan funsi dirinya
baik secara harfiah atau biologis maupun secara sosiologis. Sosiologis di sini
adalah bagaimana ia berperan serta aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan
berinteraksi dengan wajar dan diterima di masyarakat sebagai seorang individu
yang bermartabat. Kekayaan juga dapat memberikan suatu prestise tertentu dalam
hal mendapatkan prestise tertentu dalam masyarakat. Terkadang ada individu yang
ingin mendapatkan kekayaan agar ia diterima sebagai suatu yang fungsional dalam
tatanan masyarakat. Contoh kasus eudonism, salah satunya adalah seorang guru
yang mengabdi bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Bagi dia anak-anak
tersebut walaupun mereka dalam keadaan berketerbatasan merka tetap membutuhkan
sokongan bantuan dan pendidikan. Di sini guru ini tergerak hatinya untuk
mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk mengajar anak-anak tersebut. Bukan
materi yang ingin ia dapatkan namun ia lebih mengutamakan bagaimana ia bisa
berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Hal ini mengacu terhadap teori
eudonism di atas. Keteguhan diri sang guru tersebut mampu meruntuhkan keinginan
mencapai kekayaan yang bersifat materi, ia sadar ada kebahagiaan yang lebih
hakiki dibanding “kesenangan” bermateri kekayaan yaitu kebahagiaan dapat
menjadi seorang yang esensial di antara anak-anak yang berkebutuhan khusus
dalam memberikan pendidikan yang setara dengan anak- anak biasa.
3. DEONTOLOGI
Ketiga, deontology, yaitu keadaan di mana seorang individu
bertindak berdasarkan maksud di pelaku dalam melakukan hal tersebut(tindakan).
Deontologi menurut Immanuel Kant-penemu teori ini- yaitu, sesuatu perbuatan
akan bermakna baik jika dilandasai dengan kehendak yang baik. Dalam teorinya
ini, ia menuliskan bahwa yang kehendak baik dimaknai apabila seorang individu
akan melaksanakan sebuah kewajiban. Kehendak yang baik atas kewajiban inilah
yang dipandang sebagai sesuatu hal yang baik. Sebagaimana kasus pejabat DPR
yang melakukan banyak penyelewengan dana negara-yang sudah kita ketahui bersama
dan menjadi rahasia umum- melakukan perbuatan tersebut hanya didasarkan
pandangan subyektifnya. Makna subyektif tersebut, “mereka” melakukanhal tersebut
karena menurut mereka wataknya memang seperti itu atau bawaan dari
“sana”(lahir). Ditinjau dari segi deontologi, mereka tidak melakukan sesuatu
yang menjadi kewajibannya, malah melakukan di luar haknya sebagai anggota DPR.
Contoh konkret yang lebih jelas, salah satunya yaitu, ketika seorang warga
negara harus membayar pajak yang menjadi kewajiban tiap warga negara seperti
yang tercantum dalam UUD 1945. Hal ini sesuai dengan konsep deontologi bahwa
warga negara membayar sejumlah uang negara-pajak- karena memang sudah menjadi
sebuah kewajiban. Mereka melakukan pembayaran tersebut disertai dengan kehendak
yang baik-sesuai dengan kewajiban- tersebut. Apabila seorang warga negara tidak
membayar pajak maka ia akan mendapatkan sanksi dari negara. Kant menyebutnya
sebagai legalitas karena ada norma huku yang berperan di sini.
Contoh kasus lainnya yaitu seorang anak harus menjalankan posisi sebagai seorang anak yang harus patuh terhadap kedua orang tuanya. Patuh dengan cara melaksanakan semua arahan dan nasehat yang diberi oleh orang tuanya. Ia di sini telah melakukan kewajiban yang memang menjadi hal yang tidak perlu dipertanyakan lagi sebagai seorang anak kepada oran tuanya. Ia berkehendak secara implisit dalam perbuatannya tersimpan nasehat serta arahan tersebut. Denga kata lain, ia melakukan kehendak sesuai kewajibannya yang menurut Kant sesuai dengan konsep deontologinya.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 2007. Etika: seri filsafat Atma Jaya. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama
Pengutipan dari kompas.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar